Arti Sebuah Pernikahan – Secara etimologi, pernikahan berarti mengumpulkan dan menghimpun atau bisa juga di katakan suatu ungkapan tentang perbuatan bersetubuh dan sekaligus akad.
Dalam terminologi syar’i nikah di definisikan sebagai akad tazwij,yakni suatu ikatan khusus yang memperbolehkan (menghalalkan) seorang lelaki melakukan ‘istimta'(bersenang-senang) dengan perempuan dengan cara jima (bersetubuh), menyentuh, mencium, dan lain – lain.
Nikah juga bisa diistilahkan sebagai ikatan lahir antara seorang laki-laki dan perempuan untuk memenuhi tujuan hidup berumah tangga sebagai suami istri dengan memenuhi syarat dan rukun yang telah di tentukan oleh syariat islam.
Adapun istilah pernikahan dalam Al-Quran kadang di sebut juga dengan kata Nikah.
Sebagaimana firman-NYA: “Maka nikahilah wanita2 ( lain ) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat ” (QS.An – Nisa : 21)
Ada juga pernikahan dalam Al-Quran dengan kata Mitsaqan Ghalizha (perjanjian yang kuat).
Yaitu dalam surat An – Nisa ayat 21 berikut: “Bagaimana kamu akan mengambil nya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai Suami – Istri,dan mereka (istri – istri mu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat ” (QS.An – Nisa : 21)
Nikah ada yang mengartikan sebagai ittitaf atau kesepakatan dan mukhalathat atau pencampuran.
Dan ada pula yang mengartikan dengan arti yang sebenarnya bahwa nikah berarti dham (menghimpit atau menindih).
Sementara arti kiasan nikah berarti Watha (bersetubuh) atau aqad (mengadakan perjanjian pernikahan)
Sedangkan dalam kompilasi hukum Islam Bab II pasal 2 di ungkapkan bahwa:
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,yaitu akad yang sangat kuat atau Mitsaqan Ghalizhan untuk mentaati perintah ALLAH dan melaksanakan perintah-NYA.
Arti Sebuah Pernikahan
Pernikahan di syariatkan oleh hukum Islam mempunyai beberapa segi di antaranya :
PERTAMA, yakni segi ibadah, pernikahan mempunyai unsur ibadah.
Melaksanakan pernikahan berarti sebahagian dari ibadah dan berarti pula telah menyempurnakan sebahagian dari agama.
Rasulullah mencela dengan keras para sahabat yang ingin menandingi ibadahnya dengan cara :
Berpuasa setiap hari, bangun setiap malam untuk beribadah, hidup menyendiri dan tidak akan nikah. Karena perbuatan yang demikian menyalahi sunnahnya.
Sebagaimana dalam sabdanya: “Demi ALLAH, sesungguhnya aku benar – benar orang yang paling takut di antara kamu kepada ALLAH, dan orang paling bertaqwa kepada-NYA, tetapi aku berpuasa, berbuka, bersembahyang di tengah malam, tidur, dan aku menikahi wanita, maka barang siapa yang membenci sunnah ku, bukan lah ia termasuk umatku” (HR.Bukhari).
KEDUA, dari segi hukum, pernikahan merupakan suatu perjanjian yang kuat, dalam arti pernikahan tidak dapat di langsungkan tanpa ada persetujuan dari pihak-pihak yang berkepentingan dan akibat pernikahan.
Masing-masing pihak terikat oleh hak dan kewajiban.
Bagi suami yang hendak berpoligami di tentukan syarat-syaratnya, termasuk jika terjadi pemutusan hubungan pernikahan harus melalui prosedur dan alasan-alasan yang kuat.
KETIGA, yakni segi sosial, pernikahan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling cinta mencintai dan rasa kasih sayang di antara sesama anggota keluarga.
Karena itu Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam melarang hidup menyendiri dengan tidak nikah hingga menyebabkan tidak mendapat keturunan.
Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Tidak ada rahbaniyyah ( hidup membujang ) dalam Islam“
Dalam hadits lain di riwayatkan: “Orang yang paling buruk di antaramu adalah para pembujang,dan di antara orang2 mati yang terburuk adalah orang yang mati dalam keadaan membujang” (HR.Abu Ya’la dan Thabrani).
Sehingga dapat di rumus kan bahwa pernikahan adalah perjanjian perikatan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan untuk melaksanakan kehidupan Suami Istri. Hidup berumah tangga, melanjutkan keturunan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum Agama Islam.